Minggu, 18 Januari 2015

Psikologi Kepribadian Islam

Judul              : “Fitrah & Kepribadian Islam”
Pengarang      : Abdul Mujib, M. Ag.
Data Publik    : Jakarta Pusat, Darul Falah, Cetakan I, Oktober 1999M/Rajab 1420H, 236

Pendahuluan

Perkembangan Psikologi Kepribadian Barat yang terlepas dari nilai-nilai agama adalah hal yang patut dipertanyakan keberadaannya, terlebih dalam islam yang telah memiliki pembahasan yang jelas terhadap perkembangan psikologi. Apakah hal itu harus dibiarkan begitu saja? Bagaimana mungkin hal tersebut mampu membelit perilaku ilmiah umat muslim? Adakah tindakan yang mampu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?

Pertanyaan itu pula yang muncul sebagai pemicu kehadiran buku ini. Abdul Mujib, M. Ag. adalah seorang pengamat sosial yang berbasis agama yang juga mempertanyakan dan mengkhawatirkan hal yang serupa, perkembangan psikologi barat yang telah berkontribusi besar terhadap diskursus-diskursus keislaman baik positif maupun negative. Yang membuat umat muslim terjebak dengan asumsi-asumsi yang serupa namun tidak sama.

Konsep Fitrah dalam Islam

Menurut Toshihiko Izutsu pemahaman hakekat manusia (termasuk strukturnya) dapat ditempuh melalui tiga tahap; pertama, memilih istilah-istilah kunci dari vocabulary Al-Quar’an, yang dianggap sebagai unsur konseptual dasar bagi ideologi Qur’ani. Kedua, menentukan makna pokok yang berkaitan dengan makna semantic yang menjadi elemen penting dari istilah tersebut dan makna nasabi (relational meaning) yang merupakan tambahan yang terjadi karena hubungan dengan konteks dimana istilah itu berada. Ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep itu ke dalam satu kesatuan.

Fitrah dalam Al-Qur,an disebutkan sebanyak 20 kali. Masing-masing ayat yang memuat tema fitrah memiliki bentuk, subjek, objek, aspek dan makna tersendiri. Adapun subjek fitrah adalah Allah SWT dan objek fitrah adalah manusia. Fitrah merupakan wujud abstrak. Sebagai wujud abstrak, ia membutuhkan aktualisasi. Ibadah merupakan aktualisasi fitrah manusia yang nyata. Ibadah dalam konteks ini memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup keseluruhan aktivitas manusia dalam rangka mencari ridha Allah SWT.

Fitrah diungkap dalam hadist dengan berbagai bentuk makna. Masing-masing hadist memiliki topic dan latar yang berbeda-beda. Adapun salah satu contohnya adalah:

Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuannya yang menjadikannya Yahudi, Nashtani, dan Majusi, dalamriwayat lain musyrik.”

Hadist ini berkaitan dengan masalah takdir dan status anak yang dilahirkan, baik dari keturunan mukmin atau kafir. Konsep fitrah dalam hadist ini mengisyaratkan adanya takdir manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam konsidi musliman. Namun berubah statusnya karena status dari orang tua yang melahirkannya.

Pengertian fitrha sangat beragam. Keberagaman ini dikarenakan oleh pemilihan sudut makna. Fitrah dapat dimaknai secara etimologi, yaitu makna yang menggambarkan konsep dasar struktur kepribadian. Termiologi, yaitu makna yang menggambarkan integritas hakekat struktur kepribadian. Sedangkan makna konteks dalam pemahaman suatu ayat (nasabi), yaitu makna yang menggambarkan aktivitas, watak, kondisi, natur, dan dinamisme kepribadian.

Fitrah dalam islam memiliki dimensi-dimensi tertentu, diantaranya aspek-aspek yang terdapat pada fitrah manusia. Sebagaimana pada penciptaan awalnya, aspek-aspek fitrah manusia memiliki banyak ragam. Keragaman ini disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda. Fitrah dapat dipandang dari aspek biologis (pisik) dan psikologis; sifat-sifat; karakter-karakter; konstitusi-konstitusi; dan nilai-nilai yang diemban.

Para ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek saja, yaitu jasad dan ruh. Mereka sedikit sekali membedakan antara jasad, ruh, dan nafs (aspek psikopisik manusia), padahal ketiganya memiliki kriteria-kriteria tersendiri. Jasad dan ruh merupakan aspek manusia yang berawalan sifatnya. Dimana jasad bersifat kasar dan duniawi atau empiris, yang asalnya dari tanah. Sedangkan ruh bersifat halus dan gaib, yang asalnya dari hembusan ruh Allah SWT.

Al-Raziy menyebut ruh dan nafs sebagai al-nafs al-insanitah, yaitu subtansi yang memancar yang bersifat ruhani. Jika ia melekat di dalam tubuh maka terjadilah apa yang dinamakan kehidupan, tetapi jika ia lepas, baik lahir maupun batin maka terjadilah kematian. Namun jika lepasnya hanya lahir saja maka terjadilah tidur, sebab tidurpun merupakan bagian daripada kematian.

Dimensi-dimensi fitrah manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fitrah pisik yang penciptaannya terdiri atas struktur organisme pisik, dimana orgamnisme pisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme pisik makhluk lain. Fitrha psikis yang mempunyai komponen, potensi, fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Dan fitrah psikopisik atau fitrah nafsaniah yang merupakan gabungan dari jasad dan ruh manusia. Dimana masing-masing fitrah ini memiliki natur, potensi, hukum, dan ciri-ciri tersendiri.

Dasar-Dasar Pemahaman Psikologi Kepribadian Kontemporer Barat

Kepribadian adalah cerminan konsep keunikan diri seseorang. Dalam beberapa bahasa disebut dengan personality (Inggris); persoonlijkheid (Belanda); dan personalidad (Spanyol). Akar kata masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin “persona” yang berarti “topeng”, yaitu topeng yang dipakai oleh actor drama atau sandiwara.

Seorang aktor Yunani Kuno telah terbiasa memakai topeng (persona) ketika memerankan soerang tokoh dalam suatu drama. Yang kemudian diadaptasi oleh bangsa Roma dengan istilah personality. Semula persona diartikan dengan “bagaimana seorang tampak pada orang laindan bukan pribadi yang sesungguhnya.” Actor menciptakan dalam pikiran penonton suatu impresi dari tokoh yang diperankan di atas panggung, bukan impresi dari pribadi actor sendiri. berdasarkan pemahaman ini maka maksud personality bukanlah suatu atribut yang pasti dan spesifik, melainkan suatu kualitas prilaku total seseorang.

Kronnologi sejarah permunculan istilah personality ini mencerminkan kronologi pemahaman psikologi dalam melihat kepribadian individu. Pada mulanya kepribadian ditunjuk pada apa yang ditampakkan, kemuadian pada apa yang dirasakan dan selanjutnya apa yang ditampilkan oleh psikopisiknya dalam kehidupan sehari-hari maka tingkah laku inilah yang dimaksud dengan kepribadian.

Tahapan pemunculan istilah personality  tersebut masih belum cukup untuk mengkaver tentang Psikilogi Kepribadian, sebab masih terdapat tiga tahapan lagi yang muncul kemudian. Psikolog lain memandang bahwa kepribadian tidak sekedar ditentukan oleh psikopisik dan kebiasaan-kebiasaan individu, melainkan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.

Karakter (watak atau perangai) kurang tepat jika diidentikkan dengan kepribadian. Di samping digunakan untuk memberi sifat selain manusia, karakter juga menggunakan norma-norma tertentu dalam memberi sifat manusia, misalnya norma agama, norma susila, dan sebagainya. Allport berpendapat dalam buku psikologi kepribadian yang ditulis oleh Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa karakter itu sama dengan kepribadian, tetapi dipandang dari sudut yang berlainan. Istilah karakter dipandang dari sudut “penilaian” baik-buruk, senang-benci, menerima-menolak suatu tingkah laku berdasarkan norma-norma yang dianut. Sedangkan istilah kepribadian dipandang dari sudut “penggambaran” manusia apa adanya tanpa disertai penilaian. Karakter dapat dikatakan sebagai kepribadian yang “dievaluasií”, sedangkan kepribadian adalah karakter yang “didevaluasi”.

Keragaman definisi kepribadian dapat disebabkan oleh beberapa factor, seperti sudut pandang, dasar pemikiran, cara dan pendekatan, dan aliran yang dianut. Beberapa factor itulah yang menyebabkan keanekaragaman definisi kepribadian. Sebagai contoh, drfinisi yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Kepribadian adalah “integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkhetip-arkhetip, persona, dan anima”. Sedangkan Allport mendefinisikan kepribadian dengan “manusia sebagaimana adanya”. Makna kata tersebut memiliki asumsi dasar bahwa pengamat tidak menggunakan norma-norma baik-buruk tertentu dalam melihat tingkah laku individu. Apa yang ada itulah yang digambarkan, tanpa menilai baik dan buruknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Allport sendiri bahwa kepribadian itu berbeda dengan karakter.

Psikologi Kepribadian sebagai bagian dari teori kepribadian memiliki dimensi-dimensi khusus yang merupakan ruang lingkup pembahasannya. Pervin menyatakan bahwa teori kepribadian dianggap sempurna apabila memiliki lima dimensi pokok, yaitu: struktur kepribadian; proses dan motivasi kepribadian; pertumbuhan dan perkembangan kepribadian; psikopatologi; dan psikoterapi. Namun dimensi-dimensi tersebut belum mencerminkan kesempurnaan suatu teori kepribadian. Hal tersebut dikarenakan karna kurangnya dimensi yang belum terungkap, yakni “kesehatan mental” serta nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan hidup kepribadian individu. Oleh karena itu maka dimensi teori kepribadian yang sempurna adalah mencakup tujuh macam, yaitu: struktur kepribadian; proses dan motivasi kepribadian; pertumbuhan dan perkembangan kepribadian; kesehatan mental; psikopatologi; psikoterapi; dan nilai-nilai yang mempribadi dalam kepribadian individu.

Adapun factor-faktor yang menentukan kepribadian dibagi menjadi tiga kelompok aliran, yaitu: factor lingkungan seperti yang dikemukakan oleh aliran Empirisme; factor hereditas seperti yang diungkapkan oleh aliran Nativisme; factor lingkungan dan factor hereditas seperti yang dijelaskan oleh aliran Konvergensi dimana hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari factor lingkungan.

Struktur kepribadian menurut para psikolog menunjukkan tiga elemen poko, yaitu: pertama, struktur kepribadian adalah suatu komponen yang mesti ada dalam setiap pribadi, yang menentukan konsep “kepribadian” sebenarnya; kedua, eksisstensi struktur dalam kepribadian manusia memiliki ciri relative stabil, menetap, dan abadi; ketiga, kepribadian seseorang merupakan wujud konkrit dan aktualisasi dari proses integrasi sistem-sistem atau aspek-aspek struktur.

Fitrah Sebagai Struktur Kepribadian Islam

Keberadaan Psikolog Kepribadina Barat tidak saja berguna bagi diskursusnya sendiri, melainkan juga membantu dikuskursus-dikuskursus lainnya. begitu urgensinya diskursus ini sehingga ia mampu melintasi batas-batas akademis dan batas-batas ideology. Pengaruh Psikologi Kepribadian Barat di bidang idoelogi mampu melintasi batas-batas agama yang telah mapan. Ada dua kemungkinan mengapa Psikologi Kepribadian Barat tidak mengaitkan diri dengan nilai agama. Pertama, ia sengaja tidak melibatkan diri dari niali-nilai agama, sehingga keberadaannya tidak berbaur dengan disiplin Karakterologi. Kedua, Psikologi Kepribadian Barat belum mampu mengkaver fenomena-fenomena keagamaan yang supra rasional.

Meskipun Psikologi Kepribadian Kontemporer telah memberikan kontribusi positif bagi pengembangan diskursus-diskursus keislaman, namun tidak sedikit pila, ia justru memberikan dampak negative. Psikologi Kepribadian Islam sudah selayaknya hadir saat ini dengan menggunakan pola pikir islamnya, dimana fitrahlah yang disumsikan sebagai struktur kepribadian islam yang akan diaplikasikan.

Studi tentang Psikologi Kepribadian Islam harus didasarkan atas nilai-nilai universal islam. Nilai-nilai ini termasuk di dalamnya Al-Qur’an, Sunnah, dan khazanah ilmu keislaman. Adapun makna kepribadian dalam islam dibagi menjadi dua makna, yaitu makna etimologi yang berarti akhlak dimana akhlak adalah suatu tingkah laku yang seharusnya dikerjakan atau ditinggalkan seseorang. Kata akhlak muncul bersamaan dengan munculnya islam. Sedangakan menurut makna terminology adalah integrasi sistem kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Dimana kalbu sebagai aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi sabagai daya emosi (rasa), sedangkan akal sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya cipta, dan nafsu sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya karsa. Ketiga komponen fitrah ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku.

Ketiga komponen tersebut memiliki prosentase sebagai sebuah dasar pemikiran, yaitu: pertama, kepribadiandalam perspektif islam merupakan integrasi dari sistem kalbu, akal, dan nafsu, sehingga masing-masing sistem tersebut memberikan dayanta dalam mewujudkan kepribadian; kedua, masing-masing sistem tersebut memiliki natur yang unik, yang suatu saat dapat bekerja sama, tetapi di saat yang lain saling berebut untuk mewujudkan kepribadian.; ketiga, jumlah prosentase diperkirakan menurut banyak-sedikitnya daya yang dikeluarkan oleh masing-masing sistem psikopisik dalam mewujudkan kepribadian.

Adapun beberapa contoh kepribadian, yakni: pertama, kepribadian Amarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan.kepribadian ini merupakan kepribadian di bawah sadar manusia. Kedua, kepribadian Lawwamah,  adalah kepribadian yang bimbang seperti mengingat lalu lupa, senang lalu sedih, taat dan takwa lalu lacur. Ketiga, kepribadian Muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik.

Ada pula factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fitrah nafsani (psikopisik) dalam pembentukan kepribadiandalam konsep kepribadian islam yang diasumsikan dari fitrah nafsani mengakui adanya peran lingkungan dalam pembentukan kepribadian. Pengakuan ini bukan berarti mengabaikan factor keturunan dan perbedaan individu. Sebaliknya, Al-Qur’an banyak membicarakan potensi-potensi bawaan. Fitrah nafsani bukanlah struktur yang netral apalagi kosong dari potensi dan kecenderungan tertentu. Muhammad Taqi Falsafi menyebut dua potensi dasar yang selalu dimiliki oleh manusia, yaitu potensi tauhid untuk mengenal dan mengetahui adanya Tuhan dan potensi akhlak untuk membedakan tingkah laku yang baik dan yang buruk.

Adapun prinsip kepribadian mukmin antara lain: karakter kepribadian Rabbani atau Iilahi adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya; karakter  kepribadian Malaki adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat malaikat yang agung dan mulia; karakter kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam tingkah laku yang nyata; karakter kepribadian Rasuli adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat rasul yang mulia; karakter kepribadian yang berwawasan masa depan adalah kepribadian yang menghendaki  adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek;

Selain itu ada pula prinsip kepribadian musli, yaitu: karakter kepribadian Syahadatain adalah adanya  usaha untuk menghilangkan dan membebaskan diri dari dominasi tuhan-tuhan temporal dan relative, kemudian mengisi diri sepenuh hati dengan Allah, Tuhan Ynag Mutlak; karakter kepribadian Mushalli adalah kepribadian yang memiliki banyak ciri salah satu diantaranya mampu berkomunikasi dengan Ilahi dan dengan sesama insani; karakter kepribadian Sha’im adalah  kepribadian yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah; karakter kepribadian Hajji adalah kepribadian yang mau mengorbankan harta, waktu, dan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT; karakter kepribadian Muhsin adalah kepribadian yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku manusia.

Penutup


Kesimpulan dari seluruh uraian di atas adalah penggalian kembali konsep fitrah sebagai struktur kepribadian islam yang digali dari Al-Qur’an, Al-Hadist, dan penafsiran dari para ahli yang kemudian dibandingkan dengan teori Psikologi Kepribadian Barat yang telah membuming. Dimana Psikologi Kepribadian Barat telah memberi kemajuan pada bidang diskursusnya sendiri dan pada bidang diskursus-diskursus lainnya. Namun kemajuan yang disumbangkan oleh Psikologi Kepribadian Barat ini juga diiringi dengan kemunduran tentang nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Yang membuat konsep tentang kepribadian menjadi hal yang terpisah dengan unsur spiritual. Memang, kepribadian adalah suatu pandangan tentang tingkah laku tanpa menilai itu salah atau benar. Namun perlu diingat, kepribadian adalah bagian dari karakter yang menggunakan norma-norma, nilai-nilai, atau aturan-aturan yang berlaku untuk memberikan pandangan apakah hal itu benar atau salah. Karna kepribadian adalah karakter yang didevaluasi dan karakter adalah kepribadian yang dievaluasi. Jadi, perlu adanya sebuah dimensi dimana konsep tentang kepribadian dapat menjadi sesuatu yang sempurna. Oleh karena itu, muncullah konsep psikologi kepribadian islam untuk menjawab dominasi psikologi kepribadian barat yang masih belum dapat mencerminkan konsep kesempurnaan suatu teori kepribadian.

Hak dan Kewajiban Masyarakat sebagai Warga Negara

Judul              : “Buku Ajar III Bangsa, Negara, dan Pancasila”
Pengarang      : R. Ismala Dewi, Slamet Soemiarno, Agnes Sri Poerbasari
Data Publik    : Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI, vii, Cetaka 2011, hml: 73-86

Pendahuluan

Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negaranya. Dimana persamaan ini dijunjung tinggi untuk menghindari kecemburuan social, sehingga terciptalah suatu negara yang adil bagi tiap warga negaranya. Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok ataupun terhadap masyarakat umum lainnya. Klaim atau tuntutan tersebut adalah klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena individu yang mempunyai hak dapat menuntut individu lainnya untuk memenuhi atau menghormati hak tersebut (Bertebs, 2000: 178-179). Dalam buku ini, kita akan mempelajari lebih dalam mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara. Dinama kita termasuk di dalamnya, terutama sebagai warga negara Republik Indonesia.

Jenis-jenis Hak yang Dikenal

Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu: (Bertens, 2000:179-187)
      
      a.       Hak Legal dan Hak Moral.
Hak Legal yaitu hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan hokum, atau dokumen legal lainnya. Sedangkan hak moral adalah hak yang berfungsi dalam system moral. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang sekaligus merupakan hak legal.

      b.      Hak Khusus dan Hak Umum.
Hak Khusus, yaitu hak yang timbul karena relasi khusus antar-beberapa individu atau karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Sedangkan hak umum adalah hak yang diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak umum juga biasa disebut sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

      c.       Hak Negatif dan Hak Positif.
Hak negative adalah hak seseorang untuk bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu. Dengan kata lain siapapun tidak boleh menghalanginya. Sedangkan hak positif adalah hakseseorang memperbolehkan orang lain berbuat sesuatu untuknya.

      d.      Hak Individual dan Hak Sosial.
Hak individu adalah hak yang dimiliki individu terhadap negara dan negara sendiri tidak dapat menghalanginya. Sedangkan hak social adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat, dimana hak ini bersifat positif. Hak individu dan hak social sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Kewajiban seringkali memiliki hubungan timbale-balik dengan hak, namun hubungan tersebut tidak dapat dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian.

Hak Asasi Manusia

Sejarah penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, pembudakan, genosida, dsb. Dari perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat dikelompokkan dalam tiga generasi, yaitu: (Budiardjo, 2008: 212)

      1.      Generasu Pertama
Generasi ini lahir di negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik.
Perjuangan HAM dari generasi ini yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215.

      2.      Generasi Kedua
Merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, social, dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin. Dimana pemikiran tentang HAM banyak didukung oleh banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika.

Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculmya pemikiran-pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digunakan untuk menentang pemikiran bahwa hak memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Menginjak awal abad ke XX, terjadi banyak peristiwa yang mempengaruhi perjuangan HAM di generasi ini, yaitu 1) Depresi Besar pada tahun 1929-1934 dari AS yang menjalar ke penjuru dunia; 2) Tampilnya Hitler; 3) Meletusnya Perang Dunia; 4) Tampilnya blok negara social dan komunis. Kemajuan HAM pada masa ini ditandai oleh kesadaran untuk merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah laku manusia (Budiardjo, 2008: 218).

      3.      Generasi Ketiga
Generasi yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.

Generasi ini dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukanpun mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Penerimaan terhadap upaya negara-negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993).

HAM dalam UUD 1945

Untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur, maka nilai keadilan social, kekeluargaan , dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan social, khususnya juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia bila diterpakan oleh bangsa-bangsa lain. Para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak wagra negara sependapat tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara.

Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tidak berubah hingga adanya amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia mengalami sejumlah peristiwa, seperti kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, serta kasus-kasus lain yang telah menibulkan banyak korban. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Hingga akhirnya pemerintah menetapkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak.

Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari

Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD, yang meliputi hak umum, hak megatif dan positif, serta hak individual dan social. Adapun untuk menhimplementasikan hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita akan menguraikan hak-hak tersebut dalam tiga kategori, yaitu:

      (1)   Keamanan
Dalam pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kewajiban ini tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM yang berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil.

      (2)   Kesetaraan
Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, profesi, status social-ekonomi diperlakukan sama. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

      (3)   Kemerdekaan (Indepedensi)
Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai “personal” atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak tersebut juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara.

Aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya, diantaranya:
(a)    Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi (Pasal 28 dan 28F, UUD 1945)
      (b)   Hak berserikat.
     (c)    Hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 29, UUD 1945)
      (d)   Hak untuk memilih dalam pemilu.
      (e)    Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara

Dalam pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat melakukan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara.

Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang menganut system demokrasi karena dengan itu warga negara sangat dapat memperoleh informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dan dsb. Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum.

Dari batasan-batasan terdapat kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga negara bukanlah tidak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari bahwa untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula.

Kewajiban Warga Negara

Hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika ia tidak melakukannya maka ia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat dipenjara. Tanggung jawab sebenarnya juga merupakan bentuk kewajiban, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan.

Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah:
      1)      Menjunjung/mematuhi hokum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1), UUD 1945)
      2)      Membela negara (Pasal 27 ayat (3), UUD 1945)
      3)      Membayar pajak
      4)      Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah) (Pasal 31 ayat (2), UUD 1945)
      5)      Menghormati hak asasi orang lain (Pasal 28J, UUD 1945)

Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, suku, agama, dsb. Di samping menghargai keragaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang.

Penutup

Kesimpulan dari uraian di atas mengenai hak dan kewajiban warga negara adalah hak warga negara selalu beriringan dengan kewajiban warga negara. Dimana tiap-tiap hal tersebut merupakan suatu bentuk kesinambungan untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur. Selain itu keseimbangan antara hak dan kewajiban menjadi suatu patokan khusus bagi negara yang menganut system demokrasi seperti Indonesia, dimana hak dan kewajiban warga negaranya diatur dalam suatu peraturan-peraturan atau undang-undang yang telah diamandemenkan. Meski demikian, hak dan kewajiban tersebut tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasbya, karena selain terdapat hak untuk melakukan susuatu kita juga memiliki kewajiban untuk tetap menghargai hak orang lain untuk juga melakukan sesuatu. Sehingga diharapkan tiap-tiap individu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab. Dengan demikian cita-cita mewujudkan negara yang adil dan makmur kelak dapat tercapai.

Lampiran

Pasal-Pasal yang berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal  26 ayat (1): Warga negara adalah  orang-orang  Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa  lain yang disahkan oleh UU sebagai warga negara.
Pasal 26 ayat (2): syarat-syarat yang mengenai  kewarganegaraan  ditetapkan dengan UU.
Pasal 27 ayat (1): segala warga negara  bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, dan wajib  menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan  tidak  ada  kecualinya. 
Pasal 27 ayat (2): tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi  kehidupannya.
Pasal 27 ayat (3): setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. 
Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. 
Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan  kehidupannya. 
Pasal 28E ayat (1): setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih  tempat tinggaldi wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak  kembali.
Pasal 28E ayat (2): setiap orang berhak atas kebebasan  meyakini dengan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya 
Pasal 28E ayat (3): setiap orang berhak atas  kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 
Pasal 30 ayat (1): setiap warga negara berhak dan wajib  ikutserta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.


Agama Islam dan IPTEK

Judul               : IPTEK;
Pengarang       : Ahmad Samantho


Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Motivasi Islam dalam Mengembangkan IPTEK

Manusia terus menerus berupaya dan berusaha mencari tahu bagaimana cara memanfaatkan alam yang luas ini. Bersumber pada ayat-ayat-Nya mengenai alam semesta, akal manusia melahirkan banyak cabang ilmu kealaman yang  terkait dengan benda-benda mati seperti ilmu astronomi,  fisika, biologi, kimia dan lain-lain. Teknologi merupakan salah satu sarana penerapan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Berulang‑ulang Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya ini diciptakan dan ditundukkan (sakhkhara) oleh Allah untuk manusia.

            “Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam dan alas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanyaa. Dan menjadikan padanya  semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Ra’du [13]: 2-3)

Alam ditundukkan bagi manusia bila manusia menguasai ilmu tentang aturan hukum-hukum yang diberlakukan Allah kepada alam semesta, yang kita kenal dengan sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum yang ada bersamaan dengan penciptaannya oleh Yang Maha Pencipta.

            “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dneganserapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]:2)

Hukum‑hukum itu diciptakan Penciptanya bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Segala sesuatu di alam ini memiliki ciri dan hukumnya tersendiri. Alam semesta ini juga berjalan dengan rapih dan harmonis. Hal ini terjadi karena ketaatan alam semesta pada hukum Allah yang diberlakukan bagi makhluk‑Nya dan tidak berubah‑ubah.

Perspektif Islam dalam Mengembangkan IPTEK

Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang materil dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengemban amanat Khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin).

            Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)

Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58] : 11 )

Kedua ayat tersebut merupakan ayat-ayat yang menandakan Keagungan dan KeMahaKuasaan Allah SWT, seperti dalam kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah dan ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu dan akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi dalam islam, agama dan ilmu pengetahuan tidak terlepas satu sama lain. Seperti dua sisi koin, keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.

Konsep Pengembangan IPTEK dalam Islam

Allah menciptakan manusia memiliki potensi akal dan pikiran sebagai bekal untuk hidup di dunia. Melalui akal dan pikiran tersebut, manusia dapat memahami dan menyelidiki hal-hal yang terdapat di alam, serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka. Akal dan pikiran tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah di muka bumi dengan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya di alam ini.  

Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam hendaknya memiliki dasar dan motif bahwa yang mereka lakukan tersebut adalah untuk memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan di dunia sebagai jembatan untuk mencari keridhaan Allah sehingga terwujud kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

             “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah [3]: 5)

Kesimpulan


Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mempelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun motivasi islam dalam pengembangan iptek adalah untuk lebih mengenal kekuasaan Allah melalui segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan memahami konsep Sunnatullah, yaitu hukum yang ada bersamaan dengan penciptaannya oleh Yang Maha Pencipta. Adapun perspektif islam dalam pengembangan iptek menyimpulkan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak terlepas satu sama lain, dimana ilmu pengetahuan digunakan umat islam sebagai sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengemban amanat Khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Konsep pengembangan iptek dalam islam merupakan suatu penerapan kelebihan yang diberikan kepada maunisa berupa akal-pikiran untuk memahami dan mempelajari hal-hal yang terdapat di alam, serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka. Dengan demikian muncullah berbagai macam cabang ilmu kealaman yang  merupakan bentuk perwujudan dari upaya manusia dalam mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.