SHARE
Belajar Bersama
Kamis, 22 Januari 2015
Minggu, 18 Januari 2015
Psikologi Kepribadian Islam
Judul : “Fitrah & Kepribadian Islam”
Pengarang : Abdul Mujib, M. Ag.
Data
Publik :
Jakarta Pusat, Darul Falah, Cetakan I, Oktober 1999M/Rajab 1420H, 236
Pendahuluan
Perkembangan
Psikologi Kepribadian Barat yang terlepas dari nilai-nilai agama adalah hal
yang patut dipertanyakan keberadaannya, terlebih dalam islam yang telah
memiliki pembahasan yang jelas terhadap perkembangan psikologi. Apakah hal itu
harus dibiarkan begitu saja? Bagaimana mungkin hal tersebut mampu membelit
perilaku ilmiah umat muslim? Adakah tindakan yang mampu dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut?
Pertanyaan itu
pula yang muncul sebagai pemicu kehadiran buku ini. Abdul Mujib, M. Ag. adalah
seorang pengamat sosial yang berbasis agama yang juga mempertanyakan dan
mengkhawatirkan hal yang serupa, perkembangan psikologi barat yang telah
berkontribusi besar terhadap diskursus-diskursus keislaman baik positif maupun
negative. Yang membuat umat muslim terjebak dengan asumsi-asumsi yang serupa
namun tidak sama.
Konsep Fitrah dalam Islam
Menurut Toshihiko Izutsu pemahaman
hakekat manusia (termasuk strukturnya) dapat ditempuh melalui tiga tahap;
pertama, memilih istilah-istilah kunci dari vocabulary Al-Quar’an, yang
dianggap sebagai unsur konseptual dasar bagi ideologi Qur’ani. Kedua,
menentukan makna pokok yang berkaitan dengan makna semantic yang menjadi elemen
penting dari istilah tersebut dan makna nasabi (relational meaning)
yang merupakan tambahan yang terjadi karena hubungan dengan konteks dimana
istilah itu berada. Ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep itu ke
dalam satu kesatuan.
Fitrah dalam Al-Qur,an disebutkan
sebanyak 20 kali. Masing-masing ayat yang memuat tema fitrah memiliki bentuk,
subjek, objek, aspek dan makna tersendiri. Adapun subjek fitrah adalah Allah
SWT dan objek fitrah adalah manusia. Fitrah merupakan wujud abstrak. Sebagai
wujud abstrak, ia membutuhkan aktualisasi. Ibadah merupakan aktualisasi fitrah
manusia yang nyata. Ibadah dalam konteks ini memiliki ruang lingkup yang luas,
mencakup keseluruhan aktivitas manusia dalam rangka mencari ridha Allah SWT.
Fitrah diungkap dalam hadist dengan
berbagai bentuk makna. Masing-masing hadist memiliki topic dan latar yang
berbeda-beda. Adapun salah satu contohnya adalah:
“Seseorang tidak dilahirkan kecuali
dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuannya yang menjadikannya Yahudi,
Nashtani, dan Majusi, dalamriwayat lain musyrik.”
Hadist ini berkaitan dengan masalah
takdir dan status anak yang dilahirkan, baik dari keturunan mukmin atau kafir.
Konsep fitrah dalam hadist ini mengisyaratkan adanya takdir manusia atau status
anak yang dilahirkan selalu dalam konsidi musliman. Namun berubah statusnya
karena status dari orang tua yang melahirkannya.
Pengertian fitrha sangat beragam.
Keberagaman ini dikarenakan oleh pemilihan sudut makna. Fitrah dapat dimaknai
secara etimologi, yaitu makna yang menggambarkan konsep dasar struktur
kepribadian. Termiologi, yaitu makna yang menggambarkan integritas hakekat
struktur kepribadian. Sedangkan makna konteks dalam pemahaman suatu ayat (nasabi),
yaitu makna yang menggambarkan aktivitas, watak, kondisi, natur, dan dinamisme
kepribadian.
Fitrah dalam islam memiliki
dimensi-dimensi tertentu, diantaranya aspek-aspek yang terdapat pada fitrah manusia.
Sebagaimana pada penciptaan awalnya, aspek-aspek fitrah manusia memiliki banyak
ragam. Keragaman ini disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda. Fitrah dapat
dipandang dari aspek biologis (pisik) dan psikologis; sifat-sifat;
karakter-karakter; konstitusi-konstitusi; dan nilai-nilai yang diemban.
Para ahli umumnya membedakan manusia
dari dua aspek saja, yaitu jasad dan ruh. Mereka sedikit sekali membedakan
antara jasad, ruh, dan nafs (aspek psikopisik manusia), padahal ketiganya
memiliki kriteria-kriteria tersendiri. Jasad dan ruh merupakan aspek manusia
yang berawalan sifatnya. Dimana jasad bersifat kasar dan duniawi atau empiris,
yang asalnya dari tanah. Sedangkan ruh bersifat halus dan gaib, yang asalnya
dari hembusan ruh Allah SWT.
Al-Raziy menyebut ruh dan nafs sebagai al-nafs
al-insanitah, yaitu subtansi yang memancar yang bersifat ruhani. Jika ia
melekat di dalam tubuh maka terjadilah apa yang dinamakan kehidupan, tetapi
jika ia lepas, baik lahir maupun batin maka terjadilah kematian. Namun jika
lepasnya hanya lahir saja maka terjadilah tidur, sebab tidurpun merupakan
bagian daripada kematian.
Dimensi-dimensi fitrah manusia dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu fitrah pisik yang penciptaannya terdiri atas
struktur organisme pisik, dimana orgamnisme pisik manusia lebih sempurna dibanding
dengan organisme pisik makhluk lain. Fitrha psikis yang mempunyai komponen,
potensi, fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk
mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Dan fitrah psikopisik atau fitrah
nafsaniah yang merupakan gabungan dari jasad dan ruh manusia. Dimana
masing-masing fitrah ini memiliki natur, potensi, hukum, dan ciri-ciri
tersendiri.
Dasar-Dasar Pemahaman Psikologi Kepribadian
Kontemporer Barat
Kepribadian adalah cerminan konsep
keunikan diri seseorang. Dalam beberapa bahasa disebut dengan personality (Inggris);
persoonlijkheid (Belanda); dan personalidad (Spanyol). Akar kata
masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin “persona” yang berarti
“topeng”, yaitu topeng yang dipakai oleh actor drama atau sandiwara.
Seorang aktor Yunani Kuno telah terbiasa
memakai topeng (persona) ketika memerankan soerang tokoh dalam suatu
drama. Yang kemudian diadaptasi oleh bangsa Roma dengan istilah personality.
Semula persona diartikan dengan “bagaimana seorang tampak pada orang
laindan bukan pribadi yang sesungguhnya.” Actor menciptakan dalam pikiran
penonton suatu impresi dari tokoh yang diperankan di atas panggung, bukan
impresi dari pribadi actor sendiri. berdasarkan pemahaman ini maka maksud personality
bukanlah suatu atribut yang pasti dan spesifik, melainkan suatu kualitas
prilaku total seseorang.
Kronnologi sejarah permunculan istilah personality
ini mencerminkan kronologi pemahaman psikologi dalam melihat kepribadian
individu. Pada mulanya kepribadian ditunjuk pada apa yang ditampakkan, kemuadian
pada apa yang dirasakan dan selanjutnya apa yang ditampilkan oleh psikopisiknya
dalam kehidupan sehari-hari maka tingkah laku inilah yang dimaksud dengan
kepribadian.
Tahapan pemunculan istilah personality tersebut masih belum cukup untuk mengkaver
tentang Psikilogi Kepribadian, sebab masih terdapat tiga tahapan lagi yang
muncul kemudian. Psikolog lain memandang bahwa kepribadian tidak sekedar
ditentukan oleh psikopisik dan kebiasaan-kebiasaan individu, melainkan
ditentukan oleh kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.
Karakter (watak atau perangai) kurang
tepat jika diidentikkan dengan kepribadian. Di samping digunakan untuk memberi
sifat selain manusia, karakter juga menggunakan norma-norma tertentu dalam
memberi sifat manusia, misalnya norma agama, norma susila, dan sebagainya.
Allport berpendapat dalam buku psikologi kepribadian yang ditulis oleh Sumadi
Suryabrata menyatakan bahwa karakter itu sama dengan kepribadian, tetapi
dipandang dari sudut yang berlainan. Istilah karakter dipandang dari sudut
“penilaian” baik-buruk, senang-benci, menerima-menolak suatu tingkah laku
berdasarkan norma-norma yang dianut. Sedangkan istilah kepribadian dipandang
dari sudut “penggambaran” manusia apa adanya tanpa disertai penilaian. Karakter
dapat dikatakan sebagai kepribadian yang “dievaluasií”, sedangkan
kepribadian adalah karakter yang “didevaluasi”.
Keragaman definisi kepribadian dapat
disebabkan oleh beberapa factor, seperti sudut pandang, dasar pemikiran, cara
dan pendekatan, dan aliran yang dianut. Beberapa factor itulah yang menyebabkan
keanekaragaman definisi kepribadian. Sebagai contoh, drfinisi yang dikemukakan
oleh Carl Gustav Jung. Kepribadian adalah “integrasi dari ego,
ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks,
arkhetip-arkhetip, persona, dan anima”. Sedangkan Allport mendefinisikan
kepribadian dengan “manusia sebagaimana adanya”. Makna kata tersebut
memiliki asumsi dasar bahwa pengamat tidak menggunakan norma-norma baik-buruk
tertentu dalam melihat tingkah laku individu. Apa yang ada itulah yang
digambarkan, tanpa menilai baik dan buruknya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Allport sendiri bahwa kepribadian itu berbeda dengan karakter.
Psikologi Kepribadian sebagai bagian
dari teori kepribadian memiliki dimensi-dimensi khusus yang merupakan ruang
lingkup pembahasannya. Pervin menyatakan bahwa teori kepribadian dianggap
sempurna apabila memiliki lima dimensi pokok, yaitu: struktur kepribadian;
proses dan motivasi kepribadian; pertumbuhan dan perkembangan kepribadian;
psikopatologi; dan psikoterapi. Namun dimensi-dimensi tersebut belum
mencerminkan kesempurnaan suatu teori kepribadian. Hal tersebut dikarenakan
karna kurangnya dimensi yang belum terungkap, yakni “kesehatan mental” serta
nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan hidup kepribadian individu. Oleh karena
itu maka dimensi teori kepribadian yang sempurna adalah mencakup tujuh macam,
yaitu: struktur kepribadian; proses dan motivasi kepribadian; pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian; kesehatan mental; psikopatologi; psikoterapi; dan
nilai-nilai yang mempribadi dalam kepribadian individu.
Adapun factor-faktor yang menentukan
kepribadian dibagi menjadi tiga kelompok aliran, yaitu: factor lingkungan
seperti yang dikemukakan oleh aliran Empirisme; factor hereditas seperti
yang diungkapkan oleh aliran Nativisme; factor lingkungan dan factor
hereditas seperti yang dijelaskan oleh aliran Konvergensi dimana
hereditas tidak akan berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan
dari factor lingkungan.
Struktur kepribadian menurut para
psikolog menunjukkan tiga elemen poko, yaitu: pertama, struktur kepribadian
adalah suatu komponen yang mesti ada dalam setiap pribadi, yang menentukan
konsep “kepribadian” sebenarnya; kedua, eksisstensi struktur dalam kepribadian
manusia memiliki ciri relative stabil, menetap, dan abadi; ketiga, kepribadian
seseorang merupakan wujud konkrit dan aktualisasi dari proses integrasi
sistem-sistem atau aspek-aspek struktur.
Fitrah Sebagai Struktur Kepribadian Islam
Keberadaan Psikolog Kepribadina Barat
tidak saja berguna bagi diskursusnya sendiri, melainkan juga membantu
dikuskursus-dikuskursus lainnya. begitu urgensinya diskursus ini sehingga ia
mampu melintasi batas-batas akademis dan batas-batas ideology. Pengaruh
Psikologi Kepribadian Barat di bidang idoelogi mampu melintasi batas-batas
agama yang telah mapan. Ada dua kemungkinan mengapa Psikologi Kepribadian Barat
tidak mengaitkan diri dengan nilai agama. Pertama, ia sengaja tidak melibatkan
diri dari niali-nilai agama, sehingga keberadaannya tidak berbaur dengan
disiplin Karakterologi. Kedua, Psikologi Kepribadian Barat belum mampu
mengkaver fenomena-fenomena keagamaan yang supra rasional.
Meskipun Psikologi Kepribadian
Kontemporer telah memberikan kontribusi positif bagi pengembangan
diskursus-diskursus keislaman, namun tidak sedikit pila, ia justru memberikan
dampak negative. Psikologi Kepribadian Islam sudah selayaknya hadir saat ini
dengan menggunakan pola pikir islamnya, dimana fitrahlah yang disumsikan
sebagai struktur kepribadian islam yang akan diaplikasikan.
Studi tentang Psikologi Kepribadian
Islam harus didasarkan atas nilai-nilai universal islam. Nilai-nilai ini
termasuk di dalamnya Al-Qur’an, Sunnah, dan khazanah ilmu keislaman. Adapun
makna kepribadian dalam islam dibagi menjadi dua makna, yaitu makna etimologi
yang berarti akhlak dimana akhlak adalah suatu tingkah laku yang seharusnya
dikerjakan atau ditinggalkan seseorang. Kata akhlak muncul bersamaan dengan
munculnya islam. Sedangakan menurut makna terminology adalah integrasi sistem
kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Dimana kalbu sebagai
aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi sabagai daya emosi (rasa),
sedangkan akal sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya
cipta, dan nafsu sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang berfungsi
sebagai daya karsa. Ketiga komponen fitrah ini berintegrasi untuk mewujudkan
suatu tingkah laku.
Ketiga komponen tersebut memiliki
prosentase sebagai sebuah dasar pemikiran, yaitu: pertama, kepribadiandalam
perspektif islam merupakan integrasi dari sistem kalbu, akal, dan nafsu,
sehingga masing-masing sistem tersebut memberikan dayanta dalam mewujudkan
kepribadian; kedua, masing-masing sistem tersebut memiliki natur yang unik,
yang suatu saat dapat bekerja sama, tetapi di saat yang lain saling berebut
untuk mewujudkan kepribadian.; ketiga, jumlah prosentase diperkirakan menurut
banyak-sedikitnya daya yang dikeluarkan oleh masing-masing sistem psikopisik
dalam mewujudkan kepribadian.
Adapun beberapa contoh kepribadian,
yakni: pertama, kepribadian Amarah adalah kepribadian yang cenderung
pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan.kepribadian ini
merupakan kepribadian di bawah sadar manusia. Kedua, kepribadian Lawwamah, adalah kepribadian yang bimbang seperti
mengingat lalu lupa, senang lalu sedih, taat dan takwa lalu lacur. Ketiga,
kepribadian Muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi
kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan
tumbuh sifat-sifat yang baik.
Ada pula factor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan fitrah nafsani (psikopisik) dalam pembentukan
kepribadiandalam konsep kepribadian islam yang diasumsikan dari fitrah nafsani mengakui
adanya peran lingkungan dalam pembentukan kepribadian. Pengakuan ini bukan
berarti mengabaikan factor keturunan dan perbedaan individu. Sebaliknya,
Al-Qur’an banyak membicarakan potensi-potensi bawaan. Fitrah nafsani bukanlah
struktur yang netral apalagi kosong dari potensi dan kecenderungan tertentu.
Muhammad Taqi Falsafi menyebut dua potensi dasar yang selalu dimiliki oleh
manusia, yaitu potensi tauhid untuk mengenal dan mengetahui adanya Tuhan dan
potensi akhlak untuk membedakan tingkah laku yang baik dan yang buruk.
Adapun prinsip kepribadian mukmin antara
lain: karakter kepribadian Rabbani atau Iilahi adalah kepribadian yang mampu
mengambil dan mengamalkan sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT ke dalam tingkah
laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya; karakter kepribadian Malaki adalah kepribadian yang
mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat malaikat yang agung dan mulia;
karakter kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan
nilai-nilai Al-Qur’an dalam tingkah laku yang nyata; karakter kepribadian
Rasuli adalah kepribadian yang mampu mengambil dan mengamalkan sifat-sifat
rasul yang mulia; karakter kepribadian yang berwawasan masa depan adalah
kepribadian yang menghendaki adanya
karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek;
Selain itu ada pula prinsip kepribadian
musli, yaitu: karakter kepribadian Syahadatain adalah adanya usaha untuk menghilangkan dan membebaskan
diri dari dominasi tuhan-tuhan temporal dan relative, kemudian mengisi diri
sepenuh hati dengan Allah, Tuhan Ynag Mutlak; karakter kepribadian Mushalli
adalah kepribadian yang memiliki banyak ciri salah satu diantaranya mampu
berkomunikasi dengan Ilahi dan dengan sesama insani; karakter kepribadian
Sha’im adalah kepribadian yang mampu
mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah; karakter kepribadian
Hajji adalah kepribadian yang mau mengorbankan harta, waktu, dan nyawa demi
memenuhi panggilan Allah SWT; karakter kepribadian Muhsin adalah kepribadian
yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku manusia.
Penutup
Kesimpulan dari seluruh uraian di atas
adalah penggalian kembali konsep fitrah sebagai struktur kepribadian islam yang
digali dari Al-Qur’an, Al-Hadist, dan penafsiran dari para ahli yang kemudian
dibandingkan dengan teori Psikologi Kepribadian Barat yang telah membuming.
Dimana Psikologi Kepribadian Barat telah memberi kemajuan pada bidang
diskursusnya sendiri dan pada bidang diskursus-diskursus lainnya. Namun
kemajuan yang disumbangkan oleh Psikologi Kepribadian Barat ini juga diiringi
dengan kemunduran tentang nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Yang membuat
konsep tentang kepribadian menjadi hal yang terpisah dengan unsur spiritual.
Memang, kepribadian adalah suatu pandangan tentang tingkah laku tanpa menilai
itu salah atau benar. Namun perlu diingat, kepribadian adalah bagian dari
karakter yang menggunakan norma-norma, nilai-nilai, atau aturan-aturan yang
berlaku untuk memberikan pandangan apakah hal itu benar atau salah. Karna
kepribadian adalah karakter yang didevaluasi dan karakter adalah kepribadian
yang dievaluasi. Jadi, perlu adanya sebuah dimensi dimana konsep tentang
kepribadian dapat menjadi sesuatu yang sempurna. Oleh karena itu, muncullah
konsep psikologi kepribadian islam untuk menjawab dominasi psikologi
kepribadian barat yang masih belum dapat mencerminkan konsep kesempurnaan suatu
teori kepribadian.
Hak dan Kewajiban Masyarakat sebagai Warga Negara
Judul : “Buku Ajar III Bangsa, Negara,
dan Pancasila”
Pengarang : R. Ismala Dewi, Slamet Soemiarno, Agnes
Sri Poerbasari
Data
Publik :
Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI, vii, Cetaka 2011, hml: 73-86
Pendahuluan
Setiap
warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negaranya. Dimana
persamaan ini dijunjung tinggi untuk menghindari kecemburuan social, sehingga
terciptalah suatu negara yang adil bagi tiap warga negaranya. Secara umum, hak
merupakan klaim yang dibuat oleh individu atau kelompok terhadap individu atau
kelompok ataupun terhadap masyarakat umum lainnya. Klaim atau tuntutan tersebut
adalah klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena individu yang mempunyai hak
dapat menuntut individu lainnya untuk memenuhi atau menghormati hak tersebut
(Bertebs, 2000: 178-179). Dalam buku ini, kita akan mempelajari lebih dalam
mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara. Dinama kita
termasuk di dalamnya, terutama sebagai warga negara Republik Indonesia.
Jenis-jenis Hak yang Dikenal
Ada
beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu: (Bertens, 2000:179-187)
a. Hak
Legal dan Hak Moral.
Hak
Legal yaitu hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan
hokum, atau dokumen legal lainnya. Sedangkan hak moral adalah hak yang
berfungsi dalam system moral. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi
banyak hak moral yang sekaligus merupakan hak legal.
b. Hak
Khusus dan Hak Umum.
Hak
Khusus, yaitu hak yang timbul karena relasi khusus antar-beberapa individu atau
karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Sedangkan hak
umum adalah hak yang diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau fungsi
tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak umum juga biasa disebut
sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).
c. Hak
Negatif dan Hak Positif.
Hak
negative adalah hak seseorang untuk bebas melakukan sesuatu atau memiliki
sesuatu. Dengan kata lain siapapun tidak boleh menghalanginya. Sedangkan hak
positif adalah hakseseorang memperbolehkan orang lain berbuat sesuatu untuknya.
d. Hak
Individual dan Hak Sosial.
Hak
individu adalah hak yang dimiliki individu terhadap negara dan negara sendiri
tidak dapat menghalanginya. Sedangkan hak social adalah hak yang dimiliki
seseorang sebagai anggota masyarakat, dimana hak ini bersifat positif. Hak
individu dan hak social sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia (DUHAM).
Kewajiban
seringkali memiliki hubungan timbale-balik dengan hak, namun hubungan tersebut
tidak dapat dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian.
Hak Asasi Manusia
Sejarah
penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan
untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, pembudakan, genosida, dsb.
Dari perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada
bangsa-bangsa dapat dikelompokkan dalam tiga generasi, yaitu: (Budiardjo, 2008:
212)
1. Generasu
Pertama
Generasi
ini lahir di negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan
hak-hak sipil dan politik.
Perjuangan
HAM dari generasi ini yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215.
2. Generasi
Kedua
Merupakan
generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, social, dan budaya, yang
diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin. Dimana
pemikiran tentang HAM banyak didukung oleh banyak pemikir Barat serta
negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika.
Perumusan
HAM semakin berkembang seiring dengan munculmya pemikiran-pemikiran tentang hak
alamiah manusia yang digunakan untuk menentang pemikiran bahwa hak memerintah
berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Menginjak
awal abad ke XX, terjadi banyak peristiwa yang mempengaruhi perjuangan HAM di
generasi ini, yaitu 1) Depresi Besar pada tahun 1929-1934 dari AS yang menjalar
ke penjuru dunia; 2) Tampilnya Hitler; 3) Meletusnya Perang Dunia; 4) Tampilnya
blok negara social dan komunis. Kemajuan HAM pada masa ini ditandai oleh
kesadaran untuk merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar
universal bagi tingkah laku manusia (Budiardjo, 2008: 218).
3. Generasi
Ketiga
Generasi
yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas
pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.
Generasi
ini dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar di
Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukanpun
mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Penerimaan terhadap upaya
negara-negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993).
HAM dalam UUD 1945
Untuk
mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur, maka nilai keadilan social,
kekeluargaan , dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai
pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan social,
khususnya juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia bila diterpakan oleh
bangsa-bangsa lain. Para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak wagra negara
sependapat tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga
rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak
kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Selain prinsip kedaulatan
rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga
negara.
Pasal-pasal
tentang hak warga negara tetap tidak berubah hingga adanya amandemen UUD 1945.
Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia mengalami sejumlah peristiwa,
seperti kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, serta kasus-kasus lain yang telah
menibulkan banyak korban. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada
tahun 1998. Hingga akhirnya pemerintah menetapkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998
tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga
ditetapkan hak perempuan dan anak.
Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam
Kehidupan Sehari-hari
Secara
formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD, yang
meliputi hak umum, hak megatif dan positif, serta hak individual dan social.
Adapun untuk menhimplementasikan hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan
sehari-hari kita akan menguraikan hak-hak tersebut dalam tiga kategori, yaitu:
(1) Keamanan
Dalam
pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kewajiban ini
tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan
negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. UUD 1945
sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM yang berarti bahwa
dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap
tindakan negara yang tidak adil.
(2) Kesetaraan
Seluruh
warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, profesi, status
social-ekonomi diperlakukan sama. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga
negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(3) Kemerdekaan
(Indepedensi)
Kemerdekaan
di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal, karena
kemerdekaan menempatkan individu sebagai “personal” atau pribadi yang bermartabat
di dalam negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak tersebut juga
menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara.
Aktivitas
politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana
untuk memenuhi hak-haknya, diantaranya:
(a) Hak
untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi (Pasal 28 dan 28F, UUD 1945)
(b) Hak
berserikat.
(c) Hak
untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing
(Pasal 29, UUD 1945)
(d) Hak
untuk memilih dalam pemilu.
(e) Hak
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga
Negara
Dalam
pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat
melakukan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal bahwa
kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka Pasal 73
dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur
batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara.
Hak
atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang
menganut system demokrasi karena dengan itu warga negara sangat dapat
memperoleh informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dan dsb. Menyuarakan
pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban
umum.
Dari
batasan-batasan terdapat kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga
negara bukanlah tidak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang
individu, harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak
negara dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak
warga negara. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki
hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari bahwa
untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang
lain pula.
Kewajiban Warga Negara
Hak
warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga negara. Kewajiban warga
negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika ia tidak melakukannya maka ia
dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat dipenjara.
Tanggung jawab sebenarnya juga merupakan bentuk kewajiban, tetapi pemenuhannya
hanya secara sukarela atau tanpa paksaan.
Beberapa
kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah:
1) Menjunjung/mematuhi
hokum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1), UUD 1945)
2) Membela
negara (Pasal 27 ayat (3), UUD 1945)
3) Membayar
pajak
4) Mengikuti
pendidikan dasar (wajib sekolah) (Pasal 31 ayat (2), UUD 1945)
5) Menghormati
hak asasi orang lain (Pasal 28J, UUD 1945)
Bersamaan
dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara juga
memiliki tanggung jawab untuk mengormati hak-hak orang lain yang tidak
sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima
pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, suku, agama, dsb. Di
samping menghargai keragaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain
dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak
orang.
Penutup
Kesimpulan
dari uraian di atas mengenai hak dan kewajiban warga negara adalah hak warga
negara selalu beriringan dengan kewajiban warga negara. Dimana tiap-tiap hal
tersebut merupakan suatu bentuk kesinambungan untuk mewujudkan negara yang adil
dan makmur. Selain itu keseimbangan antara hak dan kewajiban menjadi suatu
patokan khusus bagi negara yang menganut system demokrasi seperti Indonesia,
dimana hak dan kewajiban warga negaranya diatur dalam suatu peraturan-peraturan
atau undang-undang yang telah diamandemenkan. Meski demikian, hak dan kewajiban
tersebut tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasbya, karena selain terdapat hak
untuk melakukan susuatu kita juga memiliki kewajiban untuk tetap menghargai hak
orang lain untuk juga melakukan sesuatu. Sehingga diharapkan tiap-tiap individu
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab. Dengan
demikian cita-cita mewujudkan negara yang adil dan makmur kelak dapat tercapai.
Lampiran
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan Hak dan Kewajiban
Warga Negara
Pasal 26 ayat (1): Warga
negara adalah orang-orang Bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan oleh UU sebagai warga negara.
Pasal 26 ayat (2):
syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan UU.
Pasal 27 ayat (1):
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum
dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 27 ayat (2):
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kehidupannya.
Pasal 27 ayat (3):
setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.
Pasal 28A:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28E ayat (1):
setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggaldi wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 28E ayat (2):
setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini dengan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya
Pasal 28E ayat (3):
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 30 ayat (1):
setiap warga negara berhak dan wajib
ikutserta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Agama Islam dan IPTEK
Judul :
IPTEK;
Pengarang : Ahmad Samantho
Data Publikasi : http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/04/12/iptek-di-dubia-islam/
Islam, sebagai agama
penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan
umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian
di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Motivasi Islam dalam Mengembangkan IPTEK
Manusia terus menerus
berupaya dan berusaha mencari tahu bagaimana cara memanfaatkan alam yang luas ini.
Bersumber pada ayat-ayat-Nya mengenai alam semesta, akal manusia melahirkan
banyak cabang ilmu kealaman yang terkait dengan benda-benda mati seperti
ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia dan lain-lain. Teknologi merupakan
salah satu sarana penerapan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan
dan kenyamanan manusia. Berulang‑ulang Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya ini
diciptakan dan ditundukkan (sakhkhara) oleh Allah untuk manusia.
“Allah-lah
yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam dan alas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu)
dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan
gunung-gunung dan sungai-sungai padanyaa. Dan menjadikan padanya semua
buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.” (QS.
Al-Ra’du [13]: 2-3)
Alam
ditundukkan bagi manusia bila manusia menguasai ilmu tentang aturan hukum-hukum
yang diberlakukan Allah kepada alam semesta, yang kita kenal dengan sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum
yang ada bersamaan dengan penciptaannya oleh Yang Maha Pencipta.
“Dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dneganserapi-rapinya.” (QS.
Al-Furqan [25]:2)
Hukum‑hukum
itu diciptakan Penciptanya bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Segala
sesuatu di alam ini memiliki ciri dan hukumnya tersendiri. Alam semesta ini
juga berjalan dengan rapih dan harmonis. Hal ini terjadi karena ketaatan alam
semesta pada hukum Allah yang diberlakukan bagi makhluk‑Nya dan tidak berubah‑ubah.
Perspektif Islam dalam Mengembangkan IPTEK
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi
pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang materil dan sekular,
maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana
ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengemban amanat Khalifatullah
(wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan
menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin).
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)
“Allah akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (QS. Mujadillah
[58] : 11 )
Kedua ayat tersebut merupakan ayat-ayat yang menandakan
Keagungan dan KeMahaKuasaan Allah SWT, seperti dalam kitab-kitab suci dan
ajaran para Rasulullah dan ayat-ayat
kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila
dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati
(qalbu dan akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan
dan keimanan kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi dalam islam,
agama dan ilmu pengetahuan tidak terlepas satu sama lain. Seperti dua sisi koin,
keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara
sinergis, holistik dan integratif.
Konsep Pengembangan IPTEK dalam Islam
Allah menciptakan manusia memiliki potensi akal dan
pikiran sebagai bekal untuk hidup di dunia. Melalui akal dan pikiran tersebut,
manusia dapat memahami dan menyelidiki hal-hal yang terdapat di alam, serta
memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka. Akal dan pikiran tersebut merupakan
kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Manusia
juga diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah
di muka bumi dengan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk ciptaan
Allah lainnya di alam ini.
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat
Islam hendaknya memiliki dasar dan motif bahwa yang mereka lakukan tersebut
adalah untuk memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan di dunia sebagai jembatan
untuk mencari keridhaan Allah sehingga terwujud kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
Itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah [3]: 5)
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan umatnya
untuk mempelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun motivasi
islam dalam pengembangan iptek adalah untuk lebih mengenal kekuasaan Allah
melalui segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan memahami konsep Sunnatullah, yaitu hukum yang ada bersamaan dengan penciptaannya oleh Yang Maha Pencipta. Adapun perspektif islam dalam
pengembangan iptek menyimpulkan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak terlepas
satu sama lain, dimana ilmu pengetahuan digunakan umat islam sebagai sarana
ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengemban amanat Khalifatullah
(wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan
menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Konsep pengembangan iptek dalam islam
merupakan suatu penerapan kelebihan yang diberikan kepada maunisa berupa akal-pikiran
untuk memahami dan mempelajari hal-hal yang terdapat di alam, serta
memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka. Dengan demikian muncullah berbagai macam
cabang ilmu kealaman yang merupakan bentuk perwujudan dari upaya manusia dalam
mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Langganan:
Postingan (Atom)